Senin, 26 Desember 2011

Strategi Pemanfaatan Bank Gen untuk Konservasi Plasma Nutfah Tanaman

ABSTRACT
Strategic Use of the Bank Gene for the Conservation of Plant Germplasm. Semuel Leunufna. Convention on Biological Diversity held in Rio de Jenairo, Brasil, 1992, granted the right to posses and to manage the genetic resources to the countries in which the materials exist and evolve. This decision is surely beneficial for the diveloping/tropical countries which posses a great diversity of the biological resources, but at the same time it obligates them to participate actively in the conservation and sustainable use of the resources. Implementation of the Rio convention through ex situ conservation specificly through gene banks has been given a serious attention both by IPGRI and various nations in the world. Ex situ conservation through gene bank is useful as the back up to the in situ conservation and provides an easy means to access and to use the collected germplasm, beside its uses in the genetic improvement of the materials, readiness of the materials to be used in research, environmental restoration and recovery of genetic base in specific areas as well as in plant breeding. These benefits may be realized through a clear definition of the objectives followed by an effective implementation of an organizational structure and activities of the gene bank such as leadership, accession entry, reproduction, evaluation, collection, documentation and distribution. Furthermore, implementation of the results of Rio convention through ex situ conservation both nationally in several countries and internationally through the coordination of IPGRI as well as some challenges faced by Indonesia are discussed.
Key words: Genetic resources, bank gene, ex situ
Sejak berakhirnya konvensi biodiversitas di Rio de Jenairo, Brasil, 1992, plasma nutfah atau sumber daya genetik tidak lagi merupakan kekayaan dunia di mana setiap penduduk dunia dapat mengeksplorasi, mengklaim hak kepemilikan (mempatenkan) dan memanfaatkannya secara bebas, akan tetapi merupakan kekayaan setiap negara di mana sumber daya genetik itu berada dan berkembang (sebagai aset nasional tiap negara).
Konvensi Rio yang menghasilkan 42 artikel dan telah diratifikasi oleh 178 negara di dunia, tentunya merupakan suatu produk yang sangat menguntungkan bagi negara-negara berkembang yang umumnya tersebar di wilayah tropis dengan kepemilikan keragaman genetik sangat tinggi baik hewan, tumbuhan maupun mikroorganisme serta ekosistem di mana mereka hidup dan berkembang. Hak souverenitas (hak penguasaan) yang dilimpahkan memungkinkan negara-negara yang sebagian besar kurang maju secara ekonomi maupun kemampuan teknologi dibandingkan dengan negara-negara di belahan bumi lainnya, dapat memanfaatkan kekayaan alam yang ada, serta keuntungan yang muncul sebagai akibat pemanfaatan keragaman genetik dimaksud oleh pihak manapun (benefit sharing).
Bersamaan dengan diakuinya hak kepemilikan/penguasaan terhadap keragaman genetik, terkait pula kewajiban menjaga, memelihara agar kekayaan yang dimiliki tidak sampai dieksploitasi secara ilegal atau mengalami erosi bahkan kepunahan. Kelalaian menjalankan kewajiban tersebut tidak hanya akan menyebabkan kehilangan yang tidak dapat kembali dan tidak dapat diganti dari sumber daya genetik serta habitatnya tetapi juga peluang pengembangan lanjut organisme lainnya (melalui proses pemuliaan), berkurangnya daya dukung sumber daya hayati lainnya (misalnya ketersediaan air dan udara bersih) maupun pergeseran iklim global (misalnya melalui eksploitasi hutan secara tidak bertanggung-jawab).
Bank gen sebagai bagian dari pendekatan konservasi ex situ (konservasi keragaman hayati di luar habitat aslinya) mendapat penekanan yang lemah dalam konvensi Rio yang lebih menitikberatkan pada pendekatan konservasi ekosistem daripada pendekatan spesies. Hal ini tercermin dari pernyataan bahwa konservasi ex situ hanya merupakan pilihan terakhir atau pelengkap dari konservasi in situ (konservasi keragaman hayati pada habitat aslinya). Akan tetapi, dengan semakin disadarinya kelebihan dan keterbatasan masing-masing pendekatan, serta memper-hatikan dinamika spesies dan ekosistem maupun pengaruh aktivitas manusia, maka pendekatan metode integratif/holistik/komplementer perlu diadopsi (Heywood 2003). Pendekatan ini mengisyaratkan bahwa teknik atau pendekatan ilmu ataupun sosial perlu digunakan termasuk in situ, ex situ, inter situ, circa situ, introduksi kembali pengembalian populasi, yang dinilai sesuai untuk kasus tertentu pada kondisi tertentu (Maxtek dan Kell 2003).
Pada 1979-1980, Kuba kehilangan satu juta ton gula karena serangan penyakit karat terhadap satu varietas yang ditanam pada 40% lahan pertaniannya. Suatu ras baru bercak daun jagung merusak lebih dari 15% jagung USA di tahun 1970 karena gen sitoplasma yang sama digunakan untuk menghasilkan semua varietas utama. Di Korea, 74% dari 14 tanaman yang ditanam pada lahan pertanian tertentu di tahun 1985 telah diganti pada tahun 1993.
Dari 10.000 varietas gandum yang diusahakan di Cina pada tahun 1949, hanya tertinggal 1000 varietas pada tahun 1970. Sebagian besar varietas tanaman pertanian yang tercatat dalam sejarah di USA tidak lagi ditemukan saat ini; misalnya 7098 varietas apel yang dicatat dan dideskripsikan antara tahun 1804 sampai 1904, 86% dari jumlah tersebut telah hilang bersama dengan 95% kubis, 91% jagung, 94% ercis (pea), dan 81% tomat (Ford-Lloid 2003). Di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, 80% plasma nutfah yang dikoleksi berada dalam status rawan karena tidak tersedia areal koleksi (PPKS 2003).
Daftar contoh di atas dan banyak lagi contoh lainnya, baik yang terdokumentasi secara kuantitatif maupun yang tidak tercatat atau hanya teramati secara kualitatif, membuktikan bahwa kerawanan dan erosi genetik merupakan fenomena yang perlu mendapat perhatian serius, khususnya di bidang pertanian di mana keragaman genetik baik pada varietas budi daya maupun varietas liar merupakan aset bagi perakitan varietas unggul dalam produksi, ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik, kesesuaian agronomis, kualitas nutrisi, kesesuaian pasar, dan lain sebagainya.
Menurut Ausubel (1994) ada lima hal yang telah menyapu biodiversitas dari permukaan bumi yang dalam urutan intensitasnya adalah pengrusakan habitat, ledakan penduduk, perubahan iklim, penyakit, introduksi hewan-hewan eksotik seperti sapi, kambing, dan tikus. Maxtek dan Kell (2003) memformulasikannya dalam rumusan yang lebih detail sebagai destruksi, degradasi, dan fragmentasi habitat alami, eksploitasi berlebihan, perubahan sosio-ekonomi manusia, introduksi spesies eksotik yang bersaing, memangsa, atau berhibridisasi dengan spesies alami, perubahan praktek pertanian dan penggunaan lahan, serta bencana baik alami maupun buatan manusia.
Untuk merespon bahaya yang dihadapi sumber daya genetik, memenuhi kewajiban konvensi Rio, serta kewajiban mewariskan sumber daya alam dan genetik yang menjamin kelangsungan hidup generasi mendatang setelah mencukupkan kebutuhan hidup generasi masa kini maka konservasi ex situ melalui bank gen dewasa ini mendapat perhatian serius baik oleh badan dunia FAO melalui International Plant Genetic Resources Institut (IPGRI) bersama Pusat-pusat Penelitian Pertanian Internasional (International Agricultural Research Centre, IARC), maupun oleh pemerintahan negara-negara di dunia melalui bank gen pada tingkat nasional serta kerja sama regional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar